JURNALSECURITY | Semarang-Usianya tak lagi muda, bahkan sudah separuh abad. Namun soal ketahanan fisik jangan diragukan lagi. Hampir saban hari ia menempuh perjalanan sekitar 200 kilometer demi pengabdiannya sebagai petugas satuan pengamanan (satpam) di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Namanya Cep Sutisna, usia 51 tahun. Pria tersebut kelahiran Bandung, Jawa Barat. Ia merantau hingga Semarang dan bekerja di Kota Atlas. Kemudian menikah dengan perempuan Pati dan bermukim di tempat asal istrinya itu.
Maka dimulailah perjuangannya menafkahi keluarga, menempuh perjalanan naik motor Pati-Semarang. Berangkat pagi, pulang malam hingga delapan tahun lamanya.
Pagi buta di Kota berjuluk Mina Tani. Mayoritas warga masih terlelap pada pukul 3.45 WIB. Cep Sutisna sudah menyusuri jalanan Pati yang lembab oleh embun dengan Honda Revo tahun 2010-nya.
Tidak banyak orang yang sudah berada di jalan kota Pati pada saat itu. Hanya ada satu atau dua penjual sayur yang tergesa-gesa mengejar pasar di jelang waktu Subuh. Suasana lengang jalanan tak membuat Pak Cep, sapaan Cep Sutisna, tidak terpancing untuk memacu motornya lebih cepat.
Perjalanan Cep masih panjang. Dia perlu melewati dua kota lagi untuk sampai tempat tujuan di mana dia menyandarkan kehidupan keluarganya, sebuah tempat pendidikan yang terletak di sebelah selatan kota Semarang. Di tempat kerjanya, dia berprofesi sebagai petugas satpam.
Perjalanan dari Pati sampai Semarang itu jalurnya lurus terus. Kalau pagi saya harus melawan rasa kantuk.
Setelah separuh perjalanan, pria tersebut menunaikan salat Subuh. “Biasanya saya salat Subuh di perbatasan Kudus dan Demak,” ujar Cep dengan logat Sunda yang masih kental pada Tagar, Selasa, 9 Juni 2020.
Paskamenikah, sejak 2003 Cep Sutisna telah mukim di Pati, namun logatnya masih belum bisa akrab dengan bahasa Jawa khas Pati. “Setelah melaksanakan salat Subuh sambil istirahat sekitar sepuluh menit, saya melanjutkan perjalanan,” sambungnya.
Sinar matahari telah mengintip di ufuk timur laksana lukisan indah dari Maha Kuasa. Pemandangan indah kemunculan sang surya itu bisa menjadi hiburan bagi Pak Cep untuk menghilangkan kebosanan di jalan.
“Perjalanan dari Pati sampai Semarang itu jalurnya lurus terus. Kalau pagi saya harus melawan rasa kantuk,” tutur bapak tiga anak itu.
Mulanya, Cep kos di Semarang dan pulang ke Pati seminggu sekali. Semangatnya untuk selalu pulang dan menempuh perjalanan jauh mulai timbul sejak dia membangun sebuah rumah untuk keluarganya di Pati pada sekitar tahun 2012.
Awalnya, dia merasakan betapa berat menjalani hal itu. Apalagi tubuhnya juga belum terbiasa. Banyak kejadian dan tantangan yang dia alami.
“Saya pernah mengalami kecelakaan, sebelum Subuh di dekat Demak. Anak-anak menyeberang dengan berlari dan saya sudah berusaha menginjak rem. Untungnya, itu tidak terlalu serius,” kata Cep.
Lambat laun, dia sudah terbiasa dan bisa menikmati rutinitas tersebut. Saat sif pagi, biasanya pukul 5.30 WIB, Cep sudah sampai di tempat kerjanya dan bersiap untuk menggantikan petugas yang jaga malam.
Kuat Fisik dan Mental
Ikhtiar kehidupan yang dijalani Pak Cep tersebut membuat orang-orang di sekitarnya heran bercampur kagum. Adi, 42 tahun, rekan kerja Pak Cep sejak tahun 2005 di yayasan pendidikan tempat mereka bekerja adalah salah satunya.
Adi menyatakan perlu fisik dan mental yang kuat untuk menjalani hidup seperti rekannya itu. “Saya enggak bisa membayangkan betapa capainya pulang pergi Semarang-Pati naik motor setiap hari. Apalagi sepanjang jalan itu lurus, jadi kalau setiap hari dilewati, bosan setengah mati,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
Asumsi saya, kalau ditotal, jarak yang ditempuhnya setiap hari, pulang pergi sekitar 200 kilometer.
Pria yang tinggal di Banyumanik, Semarang itu menambahkan kalau perjalanan Pak Cep masih disambung naik ke arah Candi, salah satu Semarang atas yang daerahnya menanjak.
“Asumsi saya, kalau ditotal, jarak yang ditempuhnya setiap hari, pulang pergi sekitar 200 kilometer,” tuturnya lagi.
Dengan sistem kerja dua hari masuk pagi, dua hari masuk siang, dua hari masuk malam, dan dua hari libur, rata-rata yang ditempuh Pak Cep dengan bermotor selama seminggu mencapai sekitar 1.200 kilometer setiap minggu. Itu sama dengan perjalanan tiga kali bermotor dari Semarang ke Jakarta.
“Banyak teman yang menyarankan agar Pak Cep menyewa kos di sekitar tempat kerja dan pulang setiap ke Pati seminggu sekali, tapi mungkin dia punya pertimbangan sendiri,” kata pria yang bekerja sebagai driver itu.
Mungkin, lanjut Adi, karena dia punya usaha laundry di rumah. Jadi sesampainya di rumah dia bisa membantu usaha yang dijalankan bersama sang istri tersebut.
“Ditambah lagi, putra bungsu Pak Cep berusia dua tahun, sedang lucu-lucunya. Jadi setiap hari dia ingin selalu menyertai perkembangan putranya tersebut,” ucap Adi sembari tersenyum.
Demi Keluarga
Disinggung tentang apa yang membuat Pak Cep bersemangat menempuh perjalanan yang cukup jauh itu setiap hari, pria berbadan tegap itu menjawab keluarga.
“Keluarga, terutama anak-anak yang memompa semangat saya setiap hari,” ucapnya mantap seraya menyatakan anak-anaknya masih membutuhkan biaya pendidikan.
Petugas satpam yang sudah mengabdi selama lebih dari lima belas tahun di tempat kerjanya itu telah mendapat beberapa penghargaan. Salah satunya adalah pengabdian selama sepuluh tahun.
“Rasa tanggung jawab profesi dan demi keluarga yang membuat saya loyal terhadap pekerjaan ini,” katanya.
Keluarga, terutama anak-anak yang memompa semangat saya setiap hari.
Dia tidak berpikir untuk pindah kerja di tempat lain, termasuk yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya, karena beberapa alasan. Pertama, tempat kerjanya yang sekarang tergolong nyaman.
“Belum tentu di tempat kerja lain suasananya seperti di sini, baik secara keuangan maupun ritme kerja,” ulas Pak Cep.
Di tempat lain bisa saja gajinya lebih baik atau jaraknya lebih dekat, tapi masalah kerja jauh lebih besar atau lebih kompleks. Hal-hal seperti itu bisa menjadi risiko yang akibatnya bisa berbahaya bagi kesinambungan hidup keluarganya.
Alasan kedua Cep tidak tertarik pindah kerja adalah faktor usia. “Sekuriti atau satpam itu biasanya yang dicari yang masih muda, jadi saya tidak yakin masih diterima di tempat lain,” katanya tersenyum.
Oleh sebab itu, Cep merasa bersyukur masih bisa mengabdi di tempat kerjanya saat ini. Meski penghasilan yang diterimanya juga tidak terlalu besar, masih berkisaran di angka Upah Minimum Kota (UMK) Semarang.
Sementara, sejak tiga bulan yang lalu, Covid-19 melanda Tanah Air. Cep Sutisna pun harus melakukan penyesuaian di sela rutinitas kerjanya. Yang pasti, sebagai pekerja laju, sebutan pekerja rantau yang saban hari pulang, masa pandemi menjadi tantangan tersendiri baginya.
“Agar tetap sehat dan terhindar dari Covid-19, saya rajin berolahraga dan berdoa,” kata Cep.
Sedangkan untuk masalah pemeriksaan kesehatan di perbatasan kota oleh petugas gugus tugas, dia menyatakan tidak masalah karena sudah mengantongi tanda pengenal dan surat tugas dari perusahaannya.
Waktu sudah menunjukan pukul 15.05 WIB, setelah melaksanakan serah terima dengan petugas sif siang, Cep bersiap dengan jaket tebal dan sarung tangan, serta masker. Keluarga sudah menanti di rumahnya di Pati.
“Sampai rumah sekitar habis Magrib. Biasanya saya mampir dulu di angkringan di Demak untuk minum susu hangat yang bagus untuk stamina tubuh,” tuturnya berpamitan, menutup pembicaraan kami. [rj]
Sumber: TAGAR.ID