BERITASATPAM | Jakarta — Outsourcing adalah istilah yang sudah tidak asing lagi di dunia ketenagakerjaan Indonesia. Karena itu, penting memahami aturan hukum outsourcing di Indonesia.
Outsourcing artinya biasa disebut juga dengan istilah alih daya. Dengan begitu, peraturan alih daya yang berlaku saat ini menjadi dasar hukum outsourcing.
Pertanyaan-pertanyaan terkait hal ini kerap mencuat di kalangan pembaca. Alih daya artinya apa? Outsourcing itu apa sih? Apa yang dimaksud tenaga alih daya? Selain itu, ada pula yang bertanya apa itu perjanjian outsourcing atau alih daya? Apa saja syarat menjadi perusahaan alih daya? Apa yang dimaksud dengan perusahaan alih daya?
Dengan banyaknya pertanyaan tersebut, artikel ini akan membantu pembaca memahami informasi terkait outsourcing atau alih daya berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Outsourcing menurut UU Ketenagakerjaan Semula, peraturan yang mengatur tentang outsourcing adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), tepatnya pada Pasal 64 hingga Pasal 66.
Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Dengan begitu, menurut UU Ketenagakerjaan, alih daya artinya penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
Adapun pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat outsourcing adalah sebagai berikut:
1. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
4. dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Selain itu, masih terdapat sederet ketentuan lain yang diatur dalam aturan hukum outsourcing di Indonesia pada UU Ketenagakerjaan. Hanya saja, peraturan alih daya yang termuat pada UU Ketenagakerjaan direvisi melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Peraturan alih daya di UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja menghapus aturan hukum outsourcing di Indonesia yang sebelumnya termuat dalam Pasal 64 dan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan. Selanjutnya, Pasal 66 UU Ketenagakerjaan juga direvisi.
Kini, ketentuan yang berlaku terkait outsourcing adalah perubahan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja. Aturan baru menegaskan, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Selanjutnya, pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
Jika perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.
Perusahaan Alih Daya
UU Cipta Kerja juga mengatur tentang perusahaan alih daya. Perusahaan alih daya artinya perusahaan berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
Lebih lanjut, aturan hukum outsourcing di Indonesia juga tertuang dalam aturan turunan UU Cipta Kerja yakni PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Dalam peraturan alih daya tersebut dijelaskan, perusahaan alih daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan Perusahaan pemberi pekerjaan.
Adapun hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau PKWTT yang harus dibuat secara tertulis. Selanjutnya, pelindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
Pelindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul tersebut diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Kemudian, jika perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT maka Perjanjian Kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada.
Persyaratan pengalihan pelindungan hak tersebut merupakan jaminan atas kelangsungan bekerja bagi pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT dalam perusahaan alih daya. Jika pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan atas kelangsungan bekerja, maka, perusahaan alih daya bertanggung jawab atas pemenuhan hak pekerja/buruh.
Adapun yang terkait pula dengan outsourcing adalah, perusahaan alih daya harus berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Syarat dan tata cara memperoleh perizinan berusaha dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perrzinan berusaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
sumber: kompas.com