BERITASATPAM | Jakarta-Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut 60% praktik prostitusi kini dilakukan melalui medium online. Sementara 40% sisanya masih konvensional.
Komisioner KPAI, Ai Maryati Solihah mengatakan, saat ini ada 149 kasus yang ditangani, di mana 35 di antaranya terjadi dalam empat bulan terakhir. Dari kasus yang ada, 83% tertinggi adalah prostitusi.
“Kami melihat di prostitusi ini persentase tertinggi adalah medium online 60% dan 40% di tongkrongan dan didatangkan secara konvensional dari luar kota,” katanya dalam Polemik Trijaya Spesial Virtual On Zoom dengan tema Waspada, Indonesia Darurat Prostitusi Online, Kamis (6/5/2021).
Ia menambahkan, dari 35 kasus yang ditangani diketahui para korbannya rata-rata berusia 12-17 tahun. Prostitusi tertinggi untuk korban berada di wilayah DKI Jakarta, Pontianak, dan Jawa Timur.
Dalam praktiknya, sebanyak 41% eksekusi prostitusi dilakukan di hotel dan 23% di apartemen yang sebagian besar berada di wilayah DKI Jakarta.
“Mereka mengadu ke kami dari belasan tower yang ada dari Kalibata City. Mereka mengaku anak-anaknya perlu dilindungi dan tidak mau setiap harinya melihat pemandangan yang jelas-jelas prostitusi, dipesan dipanggil. Mungkin kaitannya bukan hanya broker atau penyewa tetapi dengan sekuriti dan sebagainya semua sudah tumbuh kembang,” katanya dilansir akurat.co.
Sementara itu, Anggota Dewan Penasehat Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), John Keliduan, menyebutkan, ada sejumlah cara bagaimana prostitusi online bisa masuk ke apartemen dan rumah susun (rusun), sebagaimana kasus prostitusi online yang terjadi di Apartemen Kelapa Gading beberapa waktu lalu.
“Kadang kala agen-agen ini juga karena mencari keuntungan mereka nakal, karena sistem cara masuknya itu mereka sudah mengetahui pintu-pintu pengamanan di apartemen. Sehingga, mereka bisa masuk dari gorong-gorong (tempat) parkir mobil, itu di bawah karena tidak bisa dideteksi kalau naik lift ke titik yang dituju,” ujarnya.
Menurutnya, praktik prostitusi online bisa masuk ke apartemen karena pelaku hafal dengan pintu-pintu masuk menuju apartemen yang tidak terjangkau sistem pengamanan secara ketat. Misalnya, dari basement parkiran mobil, meskipun ada satpam, namun mereka tidak berani dan tidak memiliki dasar untuk menanyakan pada pengunjung maksud dan tujuannya datang ke apartemen.
“Karena (sekuriti) tidak diberikan hak sepenuhnya, jadi mereka itu masuk dengan cara pakai dalam, tanda kutip hadir dari muka lain orang. Nanti dari belakang turun ambil orang, orang lain lagi, hilang jejak. Kecuali mereka masuk satu titik dari pintu depan umpamanya loby, kalau dari loby ketahuan,” tuturnya.
Meski begitu, pihaknya selalu berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan pengawasan dan imbauan, khususnya ke anggota P3RSI, agar saling mengawasi wilayah apartemennya sehingga tidak terjadi tindak pidana apapun, baik prostitusi ataupun narkotika.
“Kami melakukan pengawasan bekerja sama dengan RT yang ada di tower dengan sekuriti dan agen-agen, supaya mentaati aturan. Bukan hanya prostitusi online saja, tapi juga sarang dari narkoba yang sering terjadi transaksi di apartemen,” tukasnya.
Selain itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengungkapkan, pria hidung belang yang menggunakan jasa prostitusi online anak-anak di bawah umur jarang diamankan, karena mereka menggunakan identitas palsu di media sosial.
“Para mucikari atau joki yang selama ini kita ungkap sudah kita proses semua. Namun proses peradilan anak berbeda dengan orang dewasa. Para perempuan ini korban, yang utama hidung belang ini harus dijadikan tersangka. Mereka biasanya merubah alamat dan identitas di media sosial,” ujar Yusri Yunus.
Ia menyebutkan, untuk pria hidung belang yang terakhir diungkap adalah seorang Warga Negara Asing (WNA) yang merupakan seorang pedofil.
“Pria hidung belang yang tertangkap 2020 lalu misalnya, yang orang Itali atau Perancis ada korban 300 lebih. Dia memang pedofil, dan setelah kita kembangkan dia juga menjadi DPO di negara asalnya dengan kasus yang sama,” pungkasnya.[fr]