BERITASATPAM | Klungkung-Dampak pandemi Covid-19 banyaknya karyawan dirumahkan, hingga harus mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Seperti yang dialami oleh karyawan tidak tetap, Nengah Wirata, warga Dusun Anjingan, Desa Getakan, Kabupaten Klungkung.
Ia sebelumnya bekerja sebagai satpam di hotel kawasan Seminyak. Namun pandemi membuat pihak hotel harus merumahkannya. Tak mau terpuruk terlalu lama, Wirata memutar otak untuk mendapatkan biaya hidup. Yaitu membuat dan memasarkan pupuk kandang.
Sebelum Maret 2020, Wirata masih bekerja normal sebagai satpam di Seminyak. Dari pekerjaannya itu, ia mendapatkan upah sebesar Rp100 ribu per hari. Namun hidupnya berubah ketika pandemik mulai masuk ke Indonesia. Wisatawan mulai sepi. Demikian juga kunjungan hotel di tempatnya bekerja. Saat itu pula mulai ada pembatasan kerja.
“Mulai awal Maret ada pembatasan kerja. Saya hanya kerja delapan kali sebulan dengan upah harian Rp100 ribu,” ungkap Wirata seperti diberitakan IDNTimes.com, Rabu (11/3/2021).
Namun seiring berjalannya waktu, selain durasi kerja dikurangi, upah hariannya ikut berkurang menjadi Rp80 ribu untuk sekali bekerja. Kondisi itu tidak bertahan lama, sampai akhirnya pihak hotel memutuskan merumahkan Wirata.
Wirata mengaku terpuruk pascadirumahkan. Bagaimana ia sebagai kepala keluarga harus menghidupi ketiga anaknya dan istri. Mencari pekerjaan baru saja menurutnya sangat susah karena masih dalam situasi pandemik.
Ia kemudian punya ide. Wirata memanfaatkan waktu luangnya dengan membuat pupuk ramah lingkungan. Yaitu mengolah pupuk organik agar memiliki nilai ekonomis yang lebih.
“Saya berpikir bagaimana kotoran sapi ini agar menghasilkan Rupiah. Selama ini, kotoran sapi memang dapat menyuburkan tanaman, namun perlu proses lebih lanjut agar memiliki nilai komersial,” kata Wirata.
Tidak sebatas gagasan, Wirata langsung mencoba merealisasikan rencananya. Awalnya ia mengumpulkan seluruh kotoran sapi dalam sebuah wadah. Selanjutnya didiamkan selama sebulan untuk proses fermentasi. Setelah itu kotoran sapi diayak supaya tidak menggumpak.
“Dengan diayak kotoran sapi menjadi tidak mengumpal seperti pasir. Sehingga mudah diaplikasikan ke tanaman,” jelas Wirata.
Ia lalu menjual pupuk kandang hasil olahannya tersebut kepada warga sekitar. Ternyata di luar dugaan, peminat pupuk kandang buatannya lumayan tinggi. Ia bisa mendapatkan uang Rp25 ribu per sak berukuran 25 kilogram.
“Ternyata permintaan pupuk kandang ini cukup tinggi. Apalagi saat ini trend bercocok tanam cukup tinggi. Biasanya pupuk ini diberikan kepada tanaman di rumah seperti bunga-bungaan dan tanaman hias.”
Wirata kini bergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat Tri Eka Lestari di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung. Kelompok ini memang terbentuk sejak ada pandemik untuk pemberdayaan masyarakat. Kebanyakan anggotanya berasal dari warga yang kehilangan pekerjaan hingga petani.
“Kelompok ini mengolah sampah organik menjadi pupuk cair,” terangnya.
Ia merasa terbantu dengan adanya kelompok ini. Karena ada wadah untuk memudahkan pemasaran. Hanya saja kesulitannya adalah mencari kotoran sapi sebagai bahan baku produksi pupuk kandang. Ia juga menyadari usahanya itu tidak bisa membantu kehidupannya secara penuh. Namun setidaknya bisa sedikit membantu saat situasi seperti sekarang.
“Perlu kerja sama dengan peternak sapi agar bisa meningkatkan produksi. Semoga dengan usaha ini, setidaknya sedikit bisa membantu kami yang kehilangan pekerjaan.” [fr]