BERITASATPAM | Nganjuk — Kasus penganiayaan yang terjadi antar sesama rekan seprofesi satpam akhirnya berhasil diselesaikan Kejari Nganjuk, melalui restorative justice
Kasus yang terjadi antara satpam bernama Dasiyan yang dilaporkan menganiaya rekannya, Wanda Suwandha, itu dapat diselesaikan tanpa harus ke meja hijau.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nganjuk, Nophy Tennophero Suoth, menjelaskan antara tersangka dan korban sudah saling kenal, dan bahkan merupakan teman atau sahabat.
Sedangkan penghentian penuntutan melalui program restorative justice tersebut karena tersangka Dasiyan baru pertama kali melakukan tindak pidana. Selain itu, tersangka merupakan kepala keluarga yang menjadi tulang punggung dan mempunyai anak yang masih sekolah dan berkebutuhan khusus serta ibu yang sudah tua.
“Tersangka ini baru kali pertama melakukan tindak pidana dan juga menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya,” kata Nophy sebagaimana dilansir surya.co.id, Kamis (26/5/2022).
Nophy mengatakan, tersangka juga sudah meminta maaf kepada pihak korban dan keluarganya dan pihak korban sudah memaafkan. Antara Dasiyan dan Wanda sudah saling kenal karena memang rekan kerja sesama satpam.
Perkara itu sendiri, ungkap Nophy, disebabkan tersangka lepas kendali dan emosi karena kesal. Kasus itu terjadi pada 10 Maret 2022 sekitar pukul 15.00 WIB, saat Dasiyan melakukan penganiayaan dengan cara memukul Wanda Suwandha hingga terjatuh.
“Peristiwa penganiayaan itu terjadi karena soal pekerjaan di mana tersangka menuduh korban telah mencuri barang,” ucap Nophy.
Sementara Kepala Seksi Pidana Umum, Roy Ardiyan Nur Cahya menambahkan, sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, pihak kejari telah berupaya menciptakan harmonisasi di masyarakat.
“Sesuai perintah pimpinan, Kejari Nganjuk berupaya menciptakan penyelesaian berdasarkan hati nurani, dan menciptakan manfaat antara pelaku dan korban, dan inilah perwujudan dari restorative justice,” kata Roy.
Dikatakan Roy, Kejari Nganjuk sendiri baru pertama kali melakukan upaya restorative justice yang telah disetujui oleh Jaksa Muda Tindak Pidana Umum. “Karena perkara itu akan lebih elok bila dapat diselesaikan tanpa melalui pengadilan karena termasuk persoalan kecil,” ucap Roy.
Menurut Roy, sejak tingkat penyidikan pihaknya telah melakukan penahanan terhadap tersangka. Tetapi ketika ditempuh cara restoratif yaitu Restorative Justice oleh Kejaksaan Negeri Nganjuk, tersangka dan korban saling dipertemukan.
Dalam pertemuan itu, tersangka didampingi penasehat hukumnya dan korban juga didampingi oleh orangtua beserta penasehat hukumnya. Akhirnya tersangka dan korban saling memaafkan hingga berhasil mencapai kesepakatan perdamaian.
Berdasar hal tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Nganjuk menerbitkan Surat Penetapan Penghentian Penuntutan (SP-3) terhadap perkara atas nama tersangka tersebut.
“Tersangka dibebaskan dari penahanan dan dipertemukam dengan keluarga,” tutur Roy.[lian]