BERITASATPAM | Jakarta — Sebanyak 71 persen perusahaan mengaku kesulitan merekrut tenaga ahli yang berkualifikasi khusus di bidang keamanan siber (cybersecurity). Di sisi lain 63 persen di antaranya setuju bahwa konsekuensi dari kurangnya tenaga ahli tersebut adalah buruknya tingkat keamanan siber perusahaan.
Demikian dikatakan Vice President of Marketing and Communications Asia Fortinet Rashish Pandey dalam laporan survei yang digelar di Asia Tenggara dan Hong Kong.
Bertambahnya perusahaan yang menggunakan teknologi berbasis cloud dan automasi pun semakin memperburuk permasalahan ketidaktersediaan tenaga ahli keamanan siber ini.
Selain itu, berdasarkan laporan yang termuat dalam 2021 (ISC)2 Cybersecurity Workforce Study (penelitian (ISC)2 yang menyoroti permasalahan tenaga kerja keamanan siber pada tahun 2021) Asia-Pasifik adalah kawasan dengan kesenjangan tenaga kerja terbesar, yaitu 1,42 juta orang.
Meskipun menurun dibandingkan tahun sebelumnya, kawasan ini masih harus banyak berbenah. Mengingat semakin besarnya kerugian yang dialami perusahaan dalam hal laba dan reputasi akibat pelanggaran, keamanan siber semakin diprioritaskan di tingkat dewan.
“Di Asia, 89 persen perusahaan yang memiliki dewan direksi melaporkan bahwa mereka secara khusus mengajukan pertanyaan tentang keamanan siber. Sementara itu, 79 persen perusahaan memiliki dewan direksi yang merekomendasikan peningkatan tenaga kerja di bidang TI dan keamanan siber,” ujar Pandey sebagaimana dikutip Berita Satpam dari Bisnis.com, Jumat (24/6/2022).
Laporan kesenjangan keahlian Fortinet juga menunjukkan betapa pentingnya pelatihan dan sertifikasi bagi perusahaan untuk mengatasi kesenjangan keahlian. Laporan regional tersebut mengungkapkan bahwa 97 persen pimpinan perusahaan meyakini bahwa sertifikasi yang berfokus pada teknologi memberikan dampak positif terhadap peran dan tim mereka, sementara 86 persen pimpinan perusahaan cenderung mempekerjakan tenaga ahli bersertifikat.
Selain itu, 89 persen responden mengaku bersedia membayar agar karyawan mereka memperoleh sertifikasi keamanan siber. Semakin tingginya kesadaran dan pemahaman akan pentingnya keamanan siber menjadi salah satu alasan utama sertifikasi sangat dihargai.
Selain menganggap bahwa sertifikasi itu penting, 93 persen perusahaan telah menerapkan program pelatihan untuk meningkatkan kesadaran siber. Namun, 51 persen pimpinan perusahaan meyakini bahwa wawasan karyawan mereka belum mumpuni, sehingga timbul keraguan terhadap efektivitas program kesadaran keamanan yang diterapkan saat ini.
Bagi perusahaan yang membutuhkan pelatihan kesadaran keamanan, Fortinet menawarkan layanan Security Awareness Training melalui Fortinet Training Institute yang telah memenangkan penghargaan. Layanan ini meningkatkan perlindungan terhadap aset digital penting perusahaan dari ancaman siber (cyber threat) dengan membangun kesadaran karyawan akan keamanan siber.
Layanan ini selalu diperbarui oleh inteligensi ancaman FortiGuard Labs dari Fortinet sehingga karyawan dapat mempelajari sekaligus mengikuti perkembangan metode serangan siber (cyber attack) terkini untuk mencegah timbulnya risiko serta terjadinya pelanggaran di perusahaan.
Tak hanya itu, hasil laporan menemukan bahwa 60 persen pimpinan perusahaan di Asia mengaku perusahaannya kesulitan merekrut karyawan dan 57 persen kesulitan mempertahankan karyawan. Salah satu tantangan dalam rekrutmen adalah perekrutan perempuan, lulusan baru, dan kelompok minoritas.
Di kawasan Asia-Pasifik, 76 persen perusahaan menganggap perekrutan lulusan baru sebagai tantangan terbesar, diikuti perekrutan perempuan oleh 75 persen pimpinan perusahaan. Namun, 62 persen menyatakan bahwa perekrutan kelompok minoritas sejak dulu menjadi tantangan tersendiri.
Berdasarkan laporan, dalam upaya membentuk tim yang lebih mumpuni dan beragam. Kemudian sebesar 90 persen perusahaan di Asia memiliki target keberagaman eksplisit sebagai bagian dari strategi perekrutannya.
Laporan ini juga menunjukkan bahwa 75 persen perusahaan memiliki struktur formal untuk secara khusus merekrut lebih banyak perempuan, sementara 59 persen menerapkan strategi untuk mempekerjakan kelompok minoritas. Selain itu, 65 persen perusahaan melaksanakan upaya untuk mempekerjakan lebih banyak veteran.[lian]